Tag Archive for: sejarah

Eddie Lembong, kenang Boni Triyana dalam Historia.id, selalu berpakaian necis dengan rambut yang terseisir rapi klimis. Boni mengenal Eddie lembong sebagai sosok yang ramah dan mempunyai selera humor yang baik, ia tak segan untuk menertawakan dirinya sendiri agar lawan bicaranya tergugah untuk tertawa. Dalam dunia farmasi Indonesia Eddie Lembong terkenal sebagai pengusaha farmasi sukses sekaligus tokoh Tionghoa yang mendorong kehidupan berbangsa yang toleran.

Ediie Lembong lahir di Tinombo, Sulawesi Tengah, 30 September 1936.  Ia menjalani sekolah di THHK Gorontalo pada 1946, lalu SMP Don Bosco (1948 – 1951) di Menado, Sulawesi Utara. Tamat SMA Don Bosco (1957) semula ia bercita-cita masuk di FKUI untuk menjadi dokter, namun gagal dalam psikotes. Oleh karena itu ia melanjutkan ke jurusan farmasi Fakultas IPA di Universitas Indonesia Bandung yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung. Sejak kuliah ia sudah menunjukkan keaktifannya untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial. Ketika ia kuliah, keadaan sulit mendapatkan literatur pembelajaran. Oleh karena itu, ia berinisiatif untuk mengetik ulang buku yang ia pinjam, memfotokopinya dengan cara stensil, lalu menjualnya. Kiprah Eddie dalam pengadaan buku-buku kuliah inilah agaknya yang membuat Fakultas Farmasi terbebas dari kerusuhan anti-Tionghoa waktu itu.

Tahun 1968 ia menjadi fungsionaris BPP ISFI pusat. Selama 12 tahun ia menjadi anggota pengurus pusat Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia sejak tahun 1972. Selama 17 tahun ia menjabat, antara lain tahun 1972-1975 sebagai sekretaris jenderal GP Farmasi Pusat, kemudian tahun 1975-1987 sebagai wakil ketua GP Farmasi Pusat dan 1993-1999 sebagai ketua dewan penasehat GP Farmasi Pusat.

Pada 1971 bersama seorang rekannya Eddie Lembong mendirikan pabrik obat Pharos, yang terinspirasi dari nama Pulau Pharos di dekat Teluk Alexandria, Mesir. Tak lama berkongsi, dia memutuskan mengambil alih kendali Pharos sendirian, sekaligus menanggung beban utang yang membelit perusahaan. Dukungan situasi politik yang stabil pada masa pemerintahan Soeharto menjadi faktor dalam kesuksesan bisnis yang dibangun Eddie Lembong. Tak hanya pabrik obat, Eddie juga membangun jaringan pemasaran produknya melalui apotek Century yang didirikan pada 1993. Apotek tersebut tak hanya menjual obat, tapi juga menyediakan layanan informasi bagi konsumen mengenai obat yang mereka beli. Pemberi informasi tak lain adalah farmasi atau apoteker, yang pada apotek konvensional seringkali hanya dipinjam namanya sebagai cara mendapatkan izin membuka usaha apotek.

Akan tetapi, pada 1997 krisis moneter datang mendera perekonomian Indonesia. Ketika banyak perusahaan gulung tikardan mencari jalan keluar dengan mengajukan Bantuan Liquiditas Bank Indonesia, dengan kepemimpianan dan manajemen yang baik Eddie Lembong berhasil mempertahankan perusahaannya bahkan tak berhutang sepeser pun.

Sehabis krisis meneter mereda, cobaab lain kembali datang menghampiri Eddie Lembong. Pada kurun waktu dari 1997 hingga terjadi peristiwa Mei 1998 Jakarta terbakar diamuk
massa, mengawali rangkaian tragedi rasial yang membawa luka mendalam bagi warga Tionghoa di Indonesia. Eddie menyadari ada sesuatu yang salah pada hubungan antaretnis di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Sejak peristiwa tersebut, dia “banting setir” tak semata memikirkan bisnis lagi, tapi juga mencurahkan perhatiannya pada isu multikultural di tengah masyarakat Indonesia.

Tahun 1999 ia mengundurkan diri dari kepemimpinan PT Pharos, lalu pada 10 April 1999 ia bersama Ir Gilbert Wiryadinata mendirikan perhimpunan INTI  atau Indonesia-Tionghoa, yang bertujuan memperjuangkan kesamaan hak dan gerakan anti diskriminasi etnis Tionghoa. Para pendiri INTI sadar diskriminasi yang kerap terjadi terhadap warga Tionghoa diwariskan sejak zaman kolonial, seperti termaktub dalam peraturan pemerintah kolonial tahun 1854 yang menggolongkan masyarakat jajahan ke dalam kelompok-kelompok ras.

Tahun 2006 Eddie mendirikan Yayasan Nabil ayang bertujuan mengembangkan gagasan penyerbukan silang budaya. Tahun 2007 ini penghargaan Nabil diberikan kepada Claudine Salmon atas jasanya mempertahankan eksistensi kebudayaan Tionghoa di masa-masa sulit represi politik Orde Baru. Melalui Yayasan Nabil, Eddie juga mengusahakan agar John Lie, perwira Angkatan Laut yang memainkan peranan penting dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia, mendapat gelarPahlawan Nasional. Gelar tersebut diperoleh 9 November 2009. Tak hanya John Lie yang Tionghoa, Eddie juga mengajukan AR Baswedan dari tokoh Indonesia keturunan Arab sebagai Pahlawan Nasional. Namun, hingga kini Baswedan belum kunjung ditetapkan jadi Pahlawan Nasional

Prinsip yang dijunjung tinggi oleh Ediie Lembong dalam memperjuangkan toleransi adalah bahwa, setiap orang berhak membawa keunikannya masing-masing sebagai ciri khas, baik maupun kultural, yang terwariskan dari mana suku bangsanya berasal. Seorang Jawa bisa tetap menjadi seorang Jawa, begitu pula seorang Tionghoa bisa tetap menampilkan diri sebagai seorang Tionghoa. Ini pula berlaku secara kolektif, sehingga memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia, bukan malah menyeragamkannya.

Gagasan tersebut membutuhkan kondisi yang “Political correctness”, sehingga situasi “plural monokulturalisme” bisa menuju situasi yang “multikulturalisme”. Karena bagaimana pun masyarakat bineka hanya bisa dipertahankan oleh suatu budaya politik kewargaan yang demokratis (democratic citizenship) yang menjamin bukan saja hak-hak sipil dan politik setiap individu (individual rights), tetapi juga hak-hak sosial-budaya kelompok masyarakat (communitarian rights).

Eddie Lembong telah menjadi sosok berpengaruh pada dua hal sekaligus, menjadi pemimpin perusahaan farmasi yang pawai dan pendorong tumbuhnya kepedulian terhadap kehidupan yang toleran. Nama Eddie Lembong manjadi satu di antara tokoh Tiohoa yang paling berpengaruh di Indonesia. Kini Eddie Lembong telah berpulang pada 1 November 2017, tubuhnya terbaring damai di San Diego Hills, Cluster Serenity Mansion, Teluk Jambe, Karawang Barat.

 

Sumber:

nasional.kompas.com, Eddie, Memperkuat Mata Rantai Persatuan

Historia.id, In Memoriam Eddie Lembong (1936 – 2017)

Pertama.id, Tokoh Tionghoa Indonesia Eddie Lembong Meninggal Dunia

Cendekiawan Muslim dalam bidang farmasi bukan hanya menjadi pelopor terentuknya ilmu farmasi, namun juga menjadi yang pertama-tama menggagas pembangunan apotek. Berikut beberapa ilmuan muslim yang berjasa dalam dunia farmasi.

  1. Muhammad Ibnu Zakariya Ar-Razi (864-930 M)

Al-Razi atau disebut juga Rhazes menurut Sharif Kaf. Al-Ghazal dalam tulisannya, The Valuable Contributions of Al-Razi: The History of Pharmacy during The Middle Ages, menjadi satu di antara ilmuwan yang memelopori berdirinya apotek pertama di Baghdad pada 754 M. Apoteker pertama dalam peradaban Barat baru muncul pada Abad ke-14 yaitu seorang Inggris bernama Geoffrey Chaucer (1342-1400), apoteker lalu munyebar ke daratan Eropa dari Abad ke-15 hingga ke-19.

Ar-Razi sejak muda telah mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad. Sekembalinya ke Teheran, ia dipercaya untuk memimpin sebuah rumah sakit di Rayy. Selanjutnya ia juga memimpin Rumah Sakit Muqtadari di Baghdad.

Sebagai seorang dokter utama di rumah sakit di Baghdad, ar-Razi merupakan orang pertama yang membuat penjelasan seputar penyakit cacar. Selain itu, dalam bidang farmasi Ar-Razi berkontribusi dalam pembuatan peralatan seperti tabung, spatula dan mortar. Ar-razi juga mengembangkan obat-obatan yang berasal dari merkuri.

 

  1. Abu Ar-Rayhan Al-Biruni (973-1051 M)

Al-Biruni mengenyam pendidikan di Khwarizm. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya sepertiastronomi, matematika, filsafat dan ilmu alam. Ia memulai melakukan eksperimen ilmiah sejak remaja. Ilmuwan Muslim yang hidup di zaman keemasan Dinasti Samaniyaah dan Ghaznawiyyah itu turut memberi kontribusi yang sangat penting dalam farmakologi dan farmasi.

Melalui kitab As-Sydanah fit-Tibb, Al-Biruni mengupas secara lugas dan jelas mengenai seluk-beluk ilmu farmasi. Kitab penting bagi perkembangan farmakologi dan farmasi itu diselesaikannya pada tahun 1050 – setahun sebelum Al-Biruni tutup usia. Dalam kitab itu, Al-Biruni tak hanya mengupas dasar-dasar farmasi, namun juga meneguhkan peran farmasi serta tugas dan fungsi yang diemban seorang famakolog.

 

  1. Abu Muhammad Abdallah Ibn Ahmad Ibn al-Baitar Dhiya al-Din al-Malaqi (864-930 M)

Al-Jami fi Al-Tibb (Kumpulan Makanan dan Obat-obatan yang Sederhana) atau disebut juga Kitab Al-Jami’ li Mufradat Al-Adweya wa Al-Aghtheya (dibawa ke Barat dan diterjemahkan menjadi The Complete [book] in Simple Medicaments and Nutritious Items) merupakan sumbangsih utama Al-Baitar. Dalam kitab risalah tersebut Al-Baitar mengupas beragam tumbuhan berkhasiat obat yang berhasil dikumpulkannya di sepanjang pantai Mediterania antara Spanyol dan Suriah.

Kitab tersebut sangat populer dan merupakan kitab paling terkemuka mengenai tumbuhan dan kaitannya dengan ilmu pengobatan Arab. Kitab ini menjadi rujukan para ahli tumbuhan dan obat-obatan hingga abad 16.

Tak kurang dari seribu tanaman obat dipaparkannya dalam kitab itu. Seribu lebih tanaman obat yang ditemukannya pada abad ke-13 M itu berbeda dengan tanaman yang telah ditemukan ratusan ilmuwan sebelumnya. Capaian yang berhasil ditorehkan Al-Baitar sungguh mampu melampaui prestasi Dioscorides.

 

  1. Yuhanna Ibnu Masawayh (777-857 M)

Orang Barat menyebutnya Mesue. Ibnu Masawayh merupakan anak seorang apoteker. Dalam kitab yang ditulisnya, Ibnu Masawayh membuat daftar sekitar 30 macam aromatik.

Salah satu karya Ibnu Masawayh yang terkenal adalah kitab Al-Mushajjar Al-Kabir. Kitab ini merupakan semacam ensiklopedia yang berisi daftar penyakit berikut pengobatannya melalui obat-obatan serta diet.

 

Sumber :

http://www.zulfanafdhilla.com/2013/09/biografi-zakariya-ar-razi-sang-kimiawan.html

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/11/28/me66kz-ini-dia-9-ilmuwan-muslim-yang-berjasa-di-dunia-farmasi-bag-1

http://www.zulfanafdhilla.com/2014/06/IbnuAl-Baitar.html

http://farisyalatief224.blogspot.co.id

Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan nasibnya dalam organisme hidup. Dan untuk menyelidiki semua interaksi antara obat dan tubuh manusia khususnya, serta penggunaannya pada pengobatan penyakit disebut farmakologi klinis.  Ilmu khasiat obat ini mencakup beberapa bagian yaitu :

 

  1. Farmakognosi, mempelajari pengetahuan dan pengenalan obat yang berasal dari tanaman dan zat – zat aktifmya, begitu pula yang berasal dari mineral dan hewan.

 

Pada zaman obat sintetis seperti sekarang ini, peranan ilmu farmakognosi sudah sangat berkurang. Namun pada dasawarsa terakhir peranannya sebagai sumber untuk obat – obat baru  berdasarkan penggunaannya secara empiris telah menjadi semakin  penting. Banyak phytoterapeutika baru telah mulai digunakan lagi (Yunani ; phyto =  tanaman), misalnya tingtura echinaceae (penguat daya tangkis), ekstrak Ginkoa biloba (penguat memori), bawang putih (antikolesterol), tingtur hyperici (antidepresi) dan ekstrak feverfew (Chrysantemum parthenium) sebagai obat pencegah migrain.

 

  1. Biofarmasi, meneliti pengaruh formulasi obat terhadap efek terapeutiknya. Dengan kata lain dalam bentuk sediaan apa obat harus dibuat agar menghasilkan efek yang optimal. Ketersediaan hayati obat dalam tubuh untuk diresorpsi dan untuk melakukan efeknya juga dipelajari (farmaceutical dan biological availability). Begitu pula kesetaraan terapeutis dari sediaan yang mengandung zat aktif sama (therapeutic equivalance). Ilmu bagian ini mulai berkembang pada akhir tahun 1950an dan erat hubungannya dengan farmakokinetika.

 

  1. Farmakokinetika, meneliti perjalanan obat mulai dari saat pemberiannya, bagaimana absorpsi dari usus, transpor dalam darah dan distrtibusinya ke tempat kerjanya dan jaringan lain. Begitu pula bagaimana perombakannya (biotransformasi) dan akhirnya ekskresinya oleh ginjal. Singkatnya farmakokinetika mempelajari segala sesuatu tindakan yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat.

 

  1. Farmakodinamika, mempelajari kegiatan obat terhadap organisme hidup terutama cara dan mekanisme kerjanya, reaksi fisiologi, serta efek terapi yang ditimbulkannya. Singkatnya farmakodinamika mencakup semua efek yang dilakukan oleh obat terhadap tubuh.

 

  1. Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan sebetulnya termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek terapi obat barhubungan erat dengan efek toksisnya.

 

  1. Farmakoterapi mempelajari penggunaan obat untuk mengobati penyakit atau gejalanya. Penggunaan ini berdasarkan atas pengetahuan tentang hubungan antara khasiat obat dan sifat fisiologi atau mikrobiologinya di satu pihak dan penyakit di pihak lain. Adakalanya berdasarkan pula atas pengalaman yang lama (dasar empiris). Phytoterapi menggunakan zat – zat dari tanaman untuk mengobati penyakit.

 

  1. Farmakope

Farmakope adalah buku resmi yang ditetapkan hukum dan memuat standarisasi obat – obat penting serta persyaratannya akan identitas, kadar kemurnian, dan sebagainya, begitu pula metode analisa dan resep sediaan farmasi. Kebanyakan negara memiliki farmakope nasionalnya dan obat – obat resmi yang dimuatnya merupakan obat dengan nilai terapi yang telah dibuktikan oleh pengalaman lama atau riset baru. Buku ini diharuskan tersedia pada setiap apotik.

 

Pada hakikatnya setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat bekerja sebagai racun dan merusak organisme. ( “Sola dosis facit venenum” : hanya dosis membuat racun racun, Paracelsus).

Workshop Integrasi Nilai Keislaman dalam Kurikulum Farmasi

Ruang Sidang 2 Lantai 2 Gedung FMIPA UII

Prof. DR. AChmad Mursyidi, M.sc., Apt:

Sudah saatnya farmasi syariah diterapkan dalam kurikulum

 

AChmad Mursyidi, M.sc., Apt:

Sudah saatnya farmasi syariah diterapkan dalam kurikulum

Sabtu lalu (2/12), Prodi Farmasi FMIPA UII menyelenggarakan workshop kefarmasian. Profesor Mursyidi yang bertindak selaku pembicara dalam acara dua sesi ini nampak antusias dengan bahan-bahan presentasi yang menjadi pergumulannya sebagai seorang pendidik. Menurutnya, pada segala hal harus ada integrasi Islamnya tidak terkecuali ilmu farmasi.

“Islam mewajibkan setiap pemeluknya untuk menuntut ilmu (yang bermanfaat)”, demikian pria kelahiran Boyolali, 8 Agustus 1944 itu memulai presentasinya. Dalam acara workshop yang dihadiri 10 praktisi dari UII ini peserta diajak untuk memahami dasar keilmuan yang mereka emban. Hal ini, menurut narasumber, sesuai dengan ciri agama Islam kontekstual yang memiliki arti memahami ilmu kefarmasian menurut agama Islam.

Agama Islam kontekstual juga dipahami secara dini dalam peran serta setiap orang tua pada kewajiban mereka untuk mendidik anak sesuai kemampuan mereka. Dalam hal ini Islam memiliki misi kehambaan dan kekalifahan sebagai tujuan hidup.

Selain itu berbicara soal keseimbangan untuk mewujudkan kemakmuran, dalam konteks ilmu farmasi, pembicara yang mengenakan setelan jas dan peci bundar ini menyejajarkan pemahaman bahwa keseimbangan itu tidak harus fifty-fifty. Sebagaimana komposisi keseimbangan dalam ilmu farmasi yang bisa diwujudkan dengan komposisi tertentu yang tidak berjumlah sama, maka keseimbangan dalam segala hal juga seharusnya dapat diwujudkan dengan cara demikian.

 

Selain pendidikan dan kemakmuran sebagai tujuan hidup beragama, dalam acara yang dimulai jam 10 pagi ini juga ditekankan bahwa agama Islam harus bisa menjadi sarana terselenggaranya penegakkan keadilan, dan pelestarian lingkungan. Terkait langsung dengan hal ini, Profesor Mursyidi mencontohkan: Jika ingin membuat obat yang sesuai dengan ajaran Islam, maka memang seharusnya apoteker Islamlah yang menciptakan obat tersebut.

“Dulu, di Iran ada kasus yang mirip dengan hal ini, ketika mereka menolak impor daging sapi karena sapinya tidak disembelih dengan bacaan basmallah”, kenang beliau untuk menjelaskan pentingnya umat Islam mempelajari farmasi. “Umat islam perlu mempelajari farmasi karena erat kaitannya dengan kebutuhan untuk obat, makanan, dan kosmetik yang halal.” Lanjutnya.

Workshop sempat dijeda untuk sholat dan makan siang jam 11:45. Namun, ketika dimulai lagi tepat jam 1 siang, pembicaraan tema workshop menjadi semakin tajam. Implikasi dari semua kegelisahan dalam pendidikan kefarmasian diungkapkan.menyangkut melimpahnya bahan haram yang terdapat dalam obat dan kosmetik yang beredar luas di pasarn.

“Tidak dapat ditawar-tawar lagi, sudah saatnya prodi Farmasi menerapkan farmasi syariah di dalam kurikulumnya.” Tegas profesor yang menamatkan studi doktoralnya di UNSW Sydney tersebut mengakhiri sesi kedua pada jam setengah tiga sore itu.

Mbak Yanti sudah terlihat dari ujung jalan. Parasnya sudah tidak begitu lelah sore ini. Selendang panjang mengikat bakul berisi botol jamu yang digendongnya. Senyumnya mengembang.

Dari jauh dia melambai, “Jamu, Mbak Ratni… tinggal dikit, nih!”, Nah, tahulah kita sekarang bahwa dagangannya sudah ludes terjual.

“Iya, Mbak. Yang biasanya masih ada?” Ujar Apoteker yang baru bertugas tiga bulan di tempat barunya ini.

Penjual jamu gendong itu tak banyak kata, dalam sekejap dia sudah menyuguhkan jamu racikannya.

Hidangan segelas jamu kemudian bergeser pada obrolan mengenai banyak hal. Dari harga sayur di pasar, tetangga yang baru saja meninggal dunia, sampai masalah Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis tak luput dari santapan bibir kedua orang ini.

Sekilas kita bisa menimbang, bahwa kedua wanita ini memiliki profesi yang serupa tapi tak sama. Mbak Ratni adalah seorang profesional di bidang farmasi. Keahliannya meracik obat diperolehnya melalui gelar kesarjanaan dengan pendidikan formal dan sertifikasi yang memadai. Sedangkan Mbak Yanti demikian gayeng dengan profesinya meracik ramuan dari tanaman obat itu akibat keakrabannya dengan dunia jamu secara turun-temurun di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

 

Di dalam sejarah, obat yang pertama kali dibuat adalah obat yang berasal dari tanaman sebagaimana yang dilakukan oleh Mbak Yanti dan para peracik minuman tradisional (jamu). Obat-obat nabati ini digunakan sebagai rebusan atau ekstrak dengan aktivitas yang seringkali berbeda-beda tergantung dari asal tanaman dan cara pembuatannya.

Peran kedekatan manusia dengan alam sekitar, khususnya tumbuh-tumbuhan dan unsur-unsur alamiah ini dikemudian hari menghasilkan ahli-ahli botani yang juga ahli dalam menyembuhkan penyakit. Tercatat pada jaman dahulu di Yunani bahwa seorang Hippocrates (459-370 SM) harus benar-benar mengenal aneka tumbuhan dengan baik sebelum dikemudian hari disandangkan gelar “bapak kedokteran” oleh para ilmuwan. Praktek pengobatannya yang menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan ini jelas menuntut pemahaman, penemuan, dan uji-coba klinis yang mendalam sepanjang pengalaman hidupnya pada jaman itu.

Lantas sekarang bagaimana perkembangan farmasi yang dekat dengan ilmu biologi di negeri tempat Mbak Yanti dan Mbak Ratni berasal, tinggal, dan berkarya ini? Setidaknya kita bisa melihat peluang yang besar dengan pesatnya perkembangan obat herbal di Indonesia. Semakin besar jumlah industri jamu atau obat tradisional dan produk herbal lainnya, maka mutlak diperlukan obat herbal terstandar. Dengan kata lain, Indonesia membutuhkan penelitian-penelitian yang berkualitas dalam berbagai bidang terkait keberadaan jamu dan segala khasiatnya bagi manusia.

Saat ini dapat kita amati arah kebijakan pemerintah yang menjadikan jamu masuk dalam koridor keilmuan. Hal ini malah mempertegas perlunya segala upaya yang bersifat keilmuan. Bukankah obat herbal itu nantinya digunakan secara luas oleh masyarakat?

Mbak Yanti tiba-tiba berdiri, “Saya pulang dulu, ya Mbak…”, Seorang pengendara motor berhenti tepat di depan mereka.

“Ibu Yanti?”

“Benar!” Balasnya, “Saya duluan, ya Mbak. Ojek onlennya sudah dateng.”

Mbak Ratni tersenyum puas, “Iya, hati-hati, ya Mbak.” Kali ini senyumnya merona. Bukan lantaran karena memandang abang ojek yang menjemput Mbak Yanti, tapi karena efek laten dari racikan jamu langgannya itu. Ternyata jamu bukan saja bermanfaat untuk pengobatan, beberapa jenis jamu juga bermanfaat bagi kecantikan.