Tag Archive for: profesi

 

Alam memberikan kepada kita bahan alam darat dan laut berupa tumbuhan, hewan dan mineral yang jika diadakan identifikasi dan menentukan sistematikanya, maka diperoleh bahan alam berkhasiat obat.

Jika bahan alam yang berkhasiat obat ini dikoleksi, dikeringkan, diolah, diawetkan dan disimpan, akan diperoleh bahan yang siap pakai atau yang disebut dengan simplisia. Farmakognosi merupakan salah satu ilmu yang mempelajari tentang bagian-bagian tanaman atau hewan yang dapat digunakan sebagai obat alami yang telah melewati berbagai macam uji seperti uji farmakodinamik, uji toksikologi dan uji biofarmasetika.

 

Farmakognosi adalah sebagai bagian biofarmasi, biokimia dan kimia sintesa, sehingga ruang lingkupnya menjadi luas seperti yang diuraikan dalam definisi Fluckiger. Sedangkan di Indonesia saat ini untuk praktikum Farmakognosi hanya meliputi segi pengamatan makroskopis, mikroskopis dan organoleptis yang seharusnya juga mencakup indentifikasi, isolasi dan pemurnian setiap zat yang terkandung dalam simplisia dan bila perlu penyelidikan dilanjutkan ke arah sintesa.

Beberapa istilah dalam pelajaran farmakognosi antara lain:

  1. Simplisia : adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan.
  2. Eksudat tanaman : Adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni.
  3. Alkaloida : adalah suatu basa organik yang mengandung unsur Nitrogen (N) pada umumnya berasal dari tanaman, yang mempunyai efek fisiologis kuat/keras terhadap manusia.
  4. Enzim : Adalah suatu biokatalisator yaitu senyawa atau zat yang berfungsi mempercepat reaksi biokimia / metabolisme dalam tubuh organisme.
  5. Pemerian : Adalah uraian tentang bentuk, bau, rasa, warna simplisia, jadi merupakan informasi yang diperlukan pada pengamatan terhadap simplisia nabati yang berupa bagian tanaman (kulit, daun, akar, dan sebagainya).

 

Lebih spesifik, berikut beberapa contoh istilah yang berhubungan dengan simplisia dan penyaki di antaranya:

1.      Stomakika Memacu enzim – enzim pencernaan
2.      Anti piretika Menurunkan suhu badan
3.      Cardiotonika Untuk penguat kerja jantung
4.      Ekspetoransia Mengurangi  batuk berdahak
5.      Diaforetika Sudorifika Memperbanyak keluarnya keringat/peluruh keringat
6.      Litotriptika Menghancurkan batu pada kandung kemih
7.      Sedativa Obat penenang
8.      Trikhomoniasis Penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur yang hidup di atas kulit (dermatofyt), jamurnya adalah Trichofyton

 

Sumber:

belajar-farmasi.blogspot.com/p/kamus-farmakognosi.html

muhammad-mahdhun.blogspot.com/stilah-istilah-farmakognosi

Eddie Lembong, kenang Boni Triyana dalam Historia.id, selalu berpakaian necis dengan rambut yang terseisir rapi klimis. Boni mengenal Eddie lembong sebagai sosok yang ramah dan mempunyai selera humor yang baik, ia tak segan untuk menertawakan dirinya sendiri agar lawan bicaranya tergugah untuk tertawa. Dalam dunia farmasi Indonesia Eddie Lembong terkenal sebagai pengusaha farmasi sukses sekaligus tokoh Tionghoa yang mendorong kehidupan berbangsa yang toleran.

Ediie Lembong lahir di Tinombo, Sulawesi Tengah, 30 September 1936.  Ia menjalani sekolah di THHK Gorontalo pada 1946, lalu SMP Don Bosco (1948 – 1951) di Menado, Sulawesi Utara. Tamat SMA Don Bosco (1957) semula ia bercita-cita masuk di FKUI untuk menjadi dokter, namun gagal dalam psikotes. Oleh karena itu ia melanjutkan ke jurusan farmasi Fakultas IPA di Universitas Indonesia Bandung yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung. Sejak kuliah ia sudah menunjukkan keaktifannya untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial. Ketika ia kuliah, keadaan sulit mendapatkan literatur pembelajaran. Oleh karena itu, ia berinisiatif untuk mengetik ulang buku yang ia pinjam, memfotokopinya dengan cara stensil, lalu menjualnya. Kiprah Eddie dalam pengadaan buku-buku kuliah inilah agaknya yang membuat Fakultas Farmasi terbebas dari kerusuhan anti-Tionghoa waktu itu.

Tahun 1968 ia menjadi fungsionaris BPP ISFI pusat. Selama 12 tahun ia menjadi anggota pengurus pusat Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia sejak tahun 1972. Selama 17 tahun ia menjabat, antara lain tahun 1972-1975 sebagai sekretaris jenderal GP Farmasi Pusat, kemudian tahun 1975-1987 sebagai wakil ketua GP Farmasi Pusat dan 1993-1999 sebagai ketua dewan penasehat GP Farmasi Pusat.

Pada 1971 bersama seorang rekannya Eddie Lembong mendirikan pabrik obat Pharos, yang terinspirasi dari nama Pulau Pharos di dekat Teluk Alexandria, Mesir. Tak lama berkongsi, dia memutuskan mengambil alih kendali Pharos sendirian, sekaligus menanggung beban utang yang membelit perusahaan. Dukungan situasi politik yang stabil pada masa pemerintahan Soeharto menjadi faktor dalam kesuksesan bisnis yang dibangun Eddie Lembong. Tak hanya pabrik obat, Eddie juga membangun jaringan pemasaran produknya melalui apotek Century yang didirikan pada 1993. Apotek tersebut tak hanya menjual obat, tapi juga menyediakan layanan informasi bagi konsumen mengenai obat yang mereka beli. Pemberi informasi tak lain adalah farmasi atau apoteker, yang pada apotek konvensional seringkali hanya dipinjam namanya sebagai cara mendapatkan izin membuka usaha apotek.

Akan tetapi, pada 1997 krisis moneter datang mendera perekonomian Indonesia. Ketika banyak perusahaan gulung tikardan mencari jalan keluar dengan mengajukan Bantuan Liquiditas Bank Indonesia, dengan kepemimpianan dan manajemen yang baik Eddie Lembong berhasil mempertahankan perusahaannya bahkan tak berhutang sepeser pun.

Sehabis krisis meneter mereda, cobaab lain kembali datang menghampiri Eddie Lembong. Pada kurun waktu dari 1997 hingga terjadi peristiwa Mei 1998 Jakarta terbakar diamuk
massa, mengawali rangkaian tragedi rasial yang membawa luka mendalam bagi warga Tionghoa di Indonesia. Eddie menyadari ada sesuatu yang salah pada hubungan antaretnis di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Sejak peristiwa tersebut, dia “banting setir” tak semata memikirkan bisnis lagi, tapi juga mencurahkan perhatiannya pada isu multikultural di tengah masyarakat Indonesia.

Tahun 1999 ia mengundurkan diri dari kepemimpinan PT Pharos, lalu pada 10 April 1999 ia bersama Ir Gilbert Wiryadinata mendirikan perhimpunan INTI  atau Indonesia-Tionghoa, yang bertujuan memperjuangkan kesamaan hak dan gerakan anti diskriminasi etnis Tionghoa. Para pendiri INTI sadar diskriminasi yang kerap terjadi terhadap warga Tionghoa diwariskan sejak zaman kolonial, seperti termaktub dalam peraturan pemerintah kolonial tahun 1854 yang menggolongkan masyarakat jajahan ke dalam kelompok-kelompok ras.

Tahun 2006 Eddie mendirikan Yayasan Nabil ayang bertujuan mengembangkan gagasan penyerbukan silang budaya. Tahun 2007 ini penghargaan Nabil diberikan kepada Claudine Salmon atas jasanya mempertahankan eksistensi kebudayaan Tionghoa di masa-masa sulit represi politik Orde Baru. Melalui Yayasan Nabil, Eddie juga mengusahakan agar John Lie, perwira Angkatan Laut yang memainkan peranan penting dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia, mendapat gelarPahlawan Nasional. Gelar tersebut diperoleh 9 November 2009. Tak hanya John Lie yang Tionghoa, Eddie juga mengajukan AR Baswedan dari tokoh Indonesia keturunan Arab sebagai Pahlawan Nasional. Namun, hingga kini Baswedan belum kunjung ditetapkan jadi Pahlawan Nasional

Prinsip yang dijunjung tinggi oleh Ediie Lembong dalam memperjuangkan toleransi adalah bahwa, setiap orang berhak membawa keunikannya masing-masing sebagai ciri khas, baik maupun kultural, yang terwariskan dari mana suku bangsanya berasal. Seorang Jawa bisa tetap menjadi seorang Jawa, begitu pula seorang Tionghoa bisa tetap menampilkan diri sebagai seorang Tionghoa. Ini pula berlaku secara kolektif, sehingga memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia, bukan malah menyeragamkannya.

Gagasan tersebut membutuhkan kondisi yang “Political correctness”, sehingga situasi “plural monokulturalisme” bisa menuju situasi yang “multikulturalisme”. Karena bagaimana pun masyarakat bineka hanya bisa dipertahankan oleh suatu budaya politik kewargaan yang demokratis (democratic citizenship) yang menjamin bukan saja hak-hak sipil dan politik setiap individu (individual rights), tetapi juga hak-hak sosial-budaya kelompok masyarakat (communitarian rights).

Eddie Lembong telah menjadi sosok berpengaruh pada dua hal sekaligus, menjadi pemimpin perusahaan farmasi yang pawai dan pendorong tumbuhnya kepedulian terhadap kehidupan yang toleran. Nama Eddie Lembong manjadi satu di antara tokoh Tiohoa yang paling berpengaruh di Indonesia. Kini Eddie Lembong telah berpulang pada 1 November 2017, tubuhnya terbaring damai di San Diego Hills, Cluster Serenity Mansion, Teluk Jambe, Karawang Barat.

 

Sumber:

nasional.kompas.com, Eddie, Memperkuat Mata Rantai Persatuan

Historia.id, In Memoriam Eddie Lembong (1936 – 2017)

Pertama.id, Tokoh Tionghoa Indonesia Eddie Lembong Meninggal Dunia

Pada 12-15 Januari 2018 lalu Prodi Farmasi Universitas Islam Indonesia bersama-sama dengan University of Rhodes Island, Amerika Serikat, menggelar J-Term 2018. J-Term atau Winer J-Term, sebagaimana dijelaskan dalam laman resmi University of Rhodes Island adalah  program semester pendek untuk mengisi libur musim dingin yang diadakan setiap bulan Januari. Melalui Winter J-Term mahasiswa mempunyai kesempatan untuk merasakan pembelajaran yang unik, pengabdian kepada masyarakat, eksplorasi karir, dan perjalanan ke beberapa negara.

Manfaat yang paling banyak dirasakan oleh mahasiswa maupun orang-orang di sekitarnya dari J-Term adalah program pengabdian masyarakat. J-Term telah menjadi alternatif mengisi kegiatan libur musim dingin dengan lebih bermakna bagi ornag banyak. Pengabdian masyarakat J-Term 2018 kali ini bekerja sama dengan Program Studi Farmasi UII. Kegiatan pengabdian masyarakat tersebut berupa penyuluhan kesehatan kepada kader-kader kesehatan yang ada di Puskesmas Ngemplak 1 dan 2 serta Puskesmas Mlati 2, Sleman, Yogyakarta.

Mahasiswa dari University of Rhodes Island menyampaikan penanganan pertama pada penyakit tertentu seperti asma dan cara menggunakan inhaler untuk menolok penderita asma. Selain itu, penyuluhan kesehatan juga meliputi materi tentang gejala-gejala penyakit struk ringan dan hipertensi. Kegiatan penyuluhan tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada kader kesehatan puskemas tentang penanganan yang tepat ketika terjadi keadaan darurat di lingkungannya.

Sekalipun mengaku terkendala dengan bahasa, peserta Program J-Term mengaku senang dengan sambutan dari kader Puskemas yang diberikan penyuluhan. Seperti Michael yang merasa pengalaman paling berkesan pada program J-Term 2018 ini adalah ketika datang desa dengan kebudayaan yang baru baginya. Penduduk desa tersebut terlihat sangat antusias dengan penyuluhan kesehatan yang diberikan, ada banyak hal yang ingin ditanyakan walaupun tak dapat berbahasa Inggris.

Program pengabdian masyarakat J-Term 2018 ditutup pada 15 Januari 2018 dengan upara penurupan sekaligus penyerahan kenang-kenangan dari kedua universitas yang diadakan di Gedung Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UII.

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sendiri adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial (jkn.kemkes.go.id).

BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sendiri adalah badan atau perusahaan asuransi yang sebelumnya bernama PT Askes yang menyelenggarakan perlindungan kesehatan bagi para pesertanya. Perlindungan kesehatan ini juga bisa didapat dari BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan transformasi dari Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja). Dari masing-masing definisi ini maka bisa disimpulkan bahwa perbedaan diantara keduanya ini adalah bahwa JKN merupakan nama programnya, sedangkan BPJS merupakan badan penyelenggaranya yang kinerjanya nanti diawasi oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional (cermati.com).

JKN memberikan pelayanan kesehatan dari pencegahan hingga pengobatan. Pelayanan kesehatan berupa tindakan preventif yaitu: penyuluhan kesehatan, imunisasi dasar, konseling Keluarga Berencana, dan skrining kesehatan. Dalam hal pelayanan kesehatan berupa pengobatan, masyarakat dapat memilih atau sesuai  fasilitas dari kelas I, II, atau III sesuai dengan besaran iuran yang dibayarkan. Sistem iuran yang telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013.

Dimuali sejak Januari 2014 JKN mengalami berbagai persoalan dalam pelaksanaannya, satu di antara yang paling krusial adalah ketersediaan Obat yang sering kali terbatas. Sebagaimana dicatat oleh Kompas.com (22 Desember 2016) berdasarkan penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, setidaknya 42% peserta JKN mengeluarkan biaya pribadi untuk membeli obat, dengan 31% responden adalah pasien yang ada di rumah sakit.

Pengadaan obat bagi pasein peserta JKN diatur dalam formularium nasional (Fornas), namun tidak semua jenis obat masuk dalam daftar Fornas tersebut. Jenis obat yang sering langka pun adalah obat untuk penyakit kanker dan rematoid artritis. Selain itu, persoalan kesulitan akses terhadap obat-obatan ini juga disebabkan oleh ketidakteraturan administrasi rumah sakit. Rumah sakit sering melakukan pemesana obat pada triwulan kedua dan ketiga, sehingga pada waktu tersebut terjadi lonjakan pemesanan obat. Keterlambatan pembayaran obat oleh rumah sakit pun menjadi penyebab kelangkaan obat bagi peserta JKN, keterlambatan tersebut menjadikan rumah sakit masuk daftar hitam para distributor obat. Hal lain yang menyebabkan kelangkaan obat untuk peserta JKN adalah integritas pihak yang berperan dalam pengadaan obat. Adanya tindakan korupsi dalam proses pengadaan obat disinyalir berpengaruh besar terhadap aksesibilatas obat-obatan untuk pasien peserta JKN.

Menurut kajian KPK pada Oktober 2016, ketidakberesan tersebut dimuali sejak dalma proses perencanaan.  Obat-obatan yang ditanggng oleh BPJS dikelola melalui e-catalogue. Sering terjadi ketidaksesuaian Formularium Nasional (Fornas) dan e-catalogue, aturan perubahan Fornas berlaku surut melanggar asas kepastian hukum, mekanisme pengadaan obat melalui e-catalogue belum optimal, dan tidak akuratnya Rencana Kebutuhan Obat (RKO) sebagai dasar pengadaan e-catalogue. Selain itu persoalan mengenai ketidaksesuaian daftar obat pada Panduan Praktik Klinis (PPK) FKTP dengan Fornas FKTP, belum adanya aturan minimal kesesuaian Fornas pada formularium RS/Daerah, belum optimalnya monitoring dan evaluasi terkait pengadaan obat, serta Lemahnya koordinasi antar lembaga. KPK mencium persoalan ketersediaan obat ini terjadi sejak perencanaan. Disebutkan, kebutuhan obat banyak yang tidak disampaikan dalam Rencana Kebutuhan Obat (RKO). Akibatnya, kebutuhan obat yang mencapai 5 juta hanya tercantum dalam e-catalogue sebanyak 1 juta. Untuk menutupi defisit obat sebanyak 4 juta, rumah sakit dan puskesmas membeli obat di pasar bebas yang lebih mahal ketimbang di e-catalogue (beritasatu.com).

Beberapa kasus kelangkaan obat untuk pasien peserta JKN ini sudah dilakuakn analisis oleh beberapa akademisi. Di antaranya Aditya Nugraha Nurtantijo, Kuswinarti, dan Deni Kurniadi Sunjaya dalam risetnya yang berjudul Analisis Ketersediaan Obat pada era Jaminan Kesehatan Nasional di Apotek Wilayah Bojonegara Kotamadya Bandung Tahun 2015, disebutkan bahwa pernah terjadi kerugian hingga Rp82 juta pada Juni 2015 karena ada keterlambatan pemberitahuan regulasi baru yang menyebabkan banyak klaim obat tidak diterima oleh BPJS. Selain itu, faktor-faktor yang memengaruhi ketidaktersediaan obat tersebut, yaitu pengadaan obat dari distributor yang memenangkan tender yang tidak sesuai kontrak kerja dengan BPJS; manajemen terutama dari BPJS dalam hal penyetujuan peresepan; sosialisasi program JKN kepada pihak-pihak terkait, antara lain dokter, apotek, dan peserta.

Penelitian lain dilakukan oleh Devina Eirene Mendrofa dan Chriswardani Suryawati dengan judul Analisis Pengelolaan Obat Pasien BPJS Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Panti Wilasa Citarum Semarang
dalam Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Vol. 4 No. 3 Desember 2016. Hasil penelitian tersebut menjelaskan beberapa persoalan yang dihadapi Rumah Sakit Panti wilasa Citarum dalam pengadaan obat bagi peserta JKN, di antaranya , Instalasi Farmasi Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum mengalami kesulitan dalam pengadaan obat BPJS yaitu e-catalogue yang tidak bisa diakses rumah sakit swasta, tidak semua jenis obat yang tersedia di e-catalog
dapat dibeli oleh rumah sakit dengan harga e-catalogue karena ketersediaan obat BPJS yang terbatas, tidak semua jenis obat di fornas tersedia di e-catalogue.

Kesulitan dalam pengadaan obat BPJS mempengaruhi pemberian obat yang dapat diberikan oleh rumah sakit kepada pasien BPJS. Kekosongan obat BPJS mengakibatkan instalasi farmasi menunda pembelian obat yang mengakibatkan pasien BPJS rawat jalan tertunda pemberian obatnya. Sedangkan untuk rawat inap apabila obat dengan harga e-catalogue tidak ada menyebabkan instalasi farmasi membeli obat dengan harga reguler yang jauh lebih mahal. Selain itu, pengiriman beberapa obat BPJS lebih lama dibandingkan dengan obat reguler karena adanya prosedur yang harus dilalui. Jumlah obat BPJS yang tersedia di distributor terbatas menyebabkan jumlah obat yang dipesan dan yang diterima tidak sama. Apabila rumah sakit tidak dapat membeli obat BPJS dengan cara manual e-catalogue, Instalasi Farmasi akan mencari obat dengan kandungan yang sama dengan harga yang dibeli rumah sakit bisa mendekati harga e-catalogue. Hal yang krusial lainnya adalah pembuatan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) selama setahun terutama obat BPJS juga belum dilakukan oleh banyak rumah sakit swasta termasuk Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum.

Dari semua contoh ketidaktersediaan obat-obatan bagi pasien pesertea BPJS di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor menajerial adalah hal utama yang perlu dibenahi dari tahap perencanaan hingga pengawasan. Sehingga, tidak terbuka kemungkinan dana pengadaan obat disalahgunakan, keterlambatan obat, dan kerugian akibat klaim obat yang tak berlaku. Peserta JKN sudah melakukan kontrak dengan pemerintah untuk menjamin layanan kesehatannya melalui sistem asuransi, oleh karena itu hal paling penting seperti obat harus tersedia dan mudah diakses.

Ketersediaan obat ini sebagaimana dicatat oleh Satibi, Ranowijaya, Aswandi, Junagsti Bermalam, dan Gunawan Pamudji Widodo Analisis of Factors That Influence the Availability of Drugs During JKN Era dalam penelitiannya yang berjudul  dimuat Indonesian Journal of Pharmacy pada 2017:

Available means ready of facilities (manpower, things needed, capital, budget) at certain time. So that availability means the degree of availability of drugs that can be used to conduct medicinal treatment in the health care unit. The availability of drugs in the primary health facility influenced by variable factors such as supply and using of drugs (Satibi, 2015).

Pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk memperbaiki sistem pengadaan obat bagi pasien JKN bukan hanya pemerintah yang mengambiul kebijakan, tetapi juga manajemen rumah sakit, dan apoteker harus dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan mengenai pengadaan obat. Penting bagi semua pihak yang terlibat dalam pengadaan obat tersebut untuk berkorelasi.

 

Sumber:

jkn.kemkes.go.id

cermati.com

Kompas.com

Indonesian Journal of Pharmacy, Oktober 2017.

Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Vol. 4 No. 3 Desember 2016

Jurnal Sains dan Kesehatan Volume 1 Nomor 4 Tahun 2016

Resep / resép/ n berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008: 1202) adalah  keterangan dokter tentang obat serta takarannya yang harus dipakai oleh si sakit dan dapat ditukar dengan obat di apotek; Keterangan tentang bahan-bahan dan cara memasak obat, makanan dan sebagainya.

Bahasa resep merupakan bahasa penulisan resep, menggunakan singkatan bahasa latin. Bahasa latin digunakan sebagai bahasa resep karna bahasa latin merupakan bahasa yang tidak berkembang, alias statis, sehingga makna bahasanya tidak berubah oleh waktu, baku dan kaku, sehingga bisa digunakan menjadi bahasa standar dalam resep secara global. Berikut beberapa singkatan yang biasaya terdapat dalam resep:

  1. us int. (ad usum internum) = dalam pemakaian dalam
  2. hor. (alternis horis) = tiap jam
  3. (biduum) = waktu 2 hari
  4. caut (caute) = hati hati
  5. (clysma) = enema, lavemen
  6. s. (da signa) = berikan dan tulis
  7. dil (dilutus) = diencerkan
  8. ut (externum utendum) = untuk dipakai diluar
  9. fol (folia) = daun
  10. (guttae) = tetes
  11. s  (hora somni) = pada waktu mau pergi tidur
  12. iter (iteratio/iteretur) = diulang
  13. ne iter (N.I) (ne iteretur) = jangan diulang
  14. n (omni nocte) = tiap malam
  15. r.n. (pro re nata) = kadang kadang jika perlu
  16. (semis) = separuh
  17. trit (tritus) = gerus
  18. v (usus veterinarius) = pemakaian untuk hewan

 

Sumber :

KBBI, 2008

http://ilmu-kefarmasian.blogspot.co.id/2013/02/istilah-resep-obat-daftar-singkatan.html

Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan nasibnya dalam organisme hidup. Dan untuk menyelidiki semua interaksi antara obat dan tubuh manusia khususnya, serta penggunaannya pada pengobatan penyakit disebut farmakologi klinis.  Ilmu khasiat obat ini mencakup beberapa bagian yaitu :

 

  1. Farmakognosi, mempelajari pengetahuan dan pengenalan obat yang berasal dari tanaman dan zat – zat aktifmya, begitu pula yang berasal dari mineral dan hewan.

 

Pada zaman obat sintetis seperti sekarang ini, peranan ilmu farmakognosi sudah sangat berkurang. Namun pada dasawarsa terakhir peranannya sebagai sumber untuk obat – obat baru  berdasarkan penggunaannya secara empiris telah menjadi semakin  penting. Banyak phytoterapeutika baru telah mulai digunakan lagi (Yunani ; phyto =  tanaman), misalnya tingtura echinaceae (penguat daya tangkis), ekstrak Ginkoa biloba (penguat memori), bawang putih (antikolesterol), tingtur hyperici (antidepresi) dan ekstrak feverfew (Chrysantemum parthenium) sebagai obat pencegah migrain.

 

  1. Biofarmasi, meneliti pengaruh formulasi obat terhadap efek terapeutiknya. Dengan kata lain dalam bentuk sediaan apa obat harus dibuat agar menghasilkan efek yang optimal. Ketersediaan hayati obat dalam tubuh untuk diresorpsi dan untuk melakukan efeknya juga dipelajari (farmaceutical dan biological availability). Begitu pula kesetaraan terapeutis dari sediaan yang mengandung zat aktif sama (therapeutic equivalance). Ilmu bagian ini mulai berkembang pada akhir tahun 1950an dan erat hubungannya dengan farmakokinetika.

 

  1. Farmakokinetika, meneliti perjalanan obat mulai dari saat pemberiannya, bagaimana absorpsi dari usus, transpor dalam darah dan distrtibusinya ke tempat kerjanya dan jaringan lain. Begitu pula bagaimana perombakannya (biotransformasi) dan akhirnya ekskresinya oleh ginjal. Singkatnya farmakokinetika mempelajari segala sesuatu tindakan yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat.

 

  1. Farmakodinamika, mempelajari kegiatan obat terhadap organisme hidup terutama cara dan mekanisme kerjanya, reaksi fisiologi, serta efek terapi yang ditimbulkannya. Singkatnya farmakodinamika mencakup semua efek yang dilakukan oleh obat terhadap tubuh.

 

  1. Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan sebetulnya termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek terapi obat barhubungan erat dengan efek toksisnya.

 

  1. Farmakoterapi mempelajari penggunaan obat untuk mengobati penyakit atau gejalanya. Penggunaan ini berdasarkan atas pengetahuan tentang hubungan antara khasiat obat dan sifat fisiologi atau mikrobiologinya di satu pihak dan penyakit di pihak lain. Adakalanya berdasarkan pula atas pengalaman yang lama (dasar empiris). Phytoterapi menggunakan zat – zat dari tanaman untuk mengobati penyakit.

 

  1. Farmakope

Farmakope adalah buku resmi yang ditetapkan hukum dan memuat standarisasi obat – obat penting serta persyaratannya akan identitas, kadar kemurnian, dan sebagainya, begitu pula metode analisa dan resep sediaan farmasi. Kebanyakan negara memiliki farmakope nasionalnya dan obat – obat resmi yang dimuatnya merupakan obat dengan nilai terapi yang telah dibuktikan oleh pengalaman lama atau riset baru. Buku ini diharuskan tersedia pada setiap apotik.

 

Pada hakikatnya setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat bekerja sebagai racun dan merusak organisme. ( “Sola dosis facit venenum” : hanya dosis membuat racun racun, Paracelsus).

Workshop Integrasi Nilai Keislaman dalam Kurikulum Farmasi

Ruang Sidang 2 Lantai 2 Gedung FMIPA UII

Prof. DR. AChmad Mursyidi, M.sc., Apt:

Sudah saatnya farmasi syariah diterapkan dalam kurikulum

 

AChmad Mursyidi, M.sc., Apt:

Sudah saatnya farmasi syariah diterapkan dalam kurikulum

Sabtu lalu (2/12), Prodi Farmasi FMIPA UII menyelenggarakan workshop kefarmasian. Profesor Mursyidi yang bertindak selaku pembicara dalam acara dua sesi ini nampak antusias dengan bahan-bahan presentasi yang menjadi pergumulannya sebagai seorang pendidik. Menurutnya, pada segala hal harus ada integrasi Islamnya tidak terkecuali ilmu farmasi.

“Islam mewajibkan setiap pemeluknya untuk menuntut ilmu (yang bermanfaat)”, demikian pria kelahiran Boyolali, 8 Agustus 1944 itu memulai presentasinya. Dalam acara workshop yang dihadiri 10 praktisi dari UII ini peserta diajak untuk memahami dasar keilmuan yang mereka emban. Hal ini, menurut narasumber, sesuai dengan ciri agama Islam kontekstual yang memiliki arti memahami ilmu kefarmasian menurut agama Islam.

Agama Islam kontekstual juga dipahami secara dini dalam peran serta setiap orang tua pada kewajiban mereka untuk mendidik anak sesuai kemampuan mereka. Dalam hal ini Islam memiliki misi kehambaan dan kekalifahan sebagai tujuan hidup.

Selain itu berbicara soal keseimbangan untuk mewujudkan kemakmuran, dalam konteks ilmu farmasi, pembicara yang mengenakan setelan jas dan peci bundar ini menyejajarkan pemahaman bahwa keseimbangan itu tidak harus fifty-fifty. Sebagaimana komposisi keseimbangan dalam ilmu farmasi yang bisa diwujudkan dengan komposisi tertentu yang tidak berjumlah sama, maka keseimbangan dalam segala hal juga seharusnya dapat diwujudkan dengan cara demikian.

 

Selain pendidikan dan kemakmuran sebagai tujuan hidup beragama, dalam acara yang dimulai jam 10 pagi ini juga ditekankan bahwa agama Islam harus bisa menjadi sarana terselenggaranya penegakkan keadilan, dan pelestarian lingkungan. Terkait langsung dengan hal ini, Profesor Mursyidi mencontohkan: Jika ingin membuat obat yang sesuai dengan ajaran Islam, maka memang seharusnya apoteker Islamlah yang menciptakan obat tersebut.

“Dulu, di Iran ada kasus yang mirip dengan hal ini, ketika mereka menolak impor daging sapi karena sapinya tidak disembelih dengan bacaan basmallah”, kenang beliau untuk menjelaskan pentingnya umat Islam mempelajari farmasi. “Umat islam perlu mempelajari farmasi karena erat kaitannya dengan kebutuhan untuk obat, makanan, dan kosmetik yang halal.” Lanjutnya.

Workshop sempat dijeda untuk sholat dan makan siang jam 11:45. Namun, ketika dimulai lagi tepat jam 1 siang, pembicaraan tema workshop menjadi semakin tajam. Implikasi dari semua kegelisahan dalam pendidikan kefarmasian diungkapkan.menyangkut melimpahnya bahan haram yang terdapat dalam obat dan kosmetik yang beredar luas di pasarn.

“Tidak dapat ditawar-tawar lagi, sudah saatnya prodi Farmasi menerapkan farmasi syariah di dalam kurikulumnya.” Tegas profesor yang menamatkan studi doktoralnya di UNSW Sydney tersebut mengakhiri sesi kedua pada jam setengah tiga sore itu.

Mbak Yanti sudah terlihat dari ujung jalan. Parasnya sudah tidak begitu lelah sore ini. Selendang panjang mengikat bakul berisi botol jamu yang digendongnya. Senyumnya mengembang.

Dari jauh dia melambai, “Jamu, Mbak Ratni… tinggal dikit, nih!”, Nah, tahulah kita sekarang bahwa dagangannya sudah ludes terjual.

“Iya, Mbak. Yang biasanya masih ada?” Ujar Apoteker yang baru bertugas tiga bulan di tempat barunya ini.

Penjual jamu gendong itu tak banyak kata, dalam sekejap dia sudah menyuguhkan jamu racikannya.

Hidangan segelas jamu kemudian bergeser pada obrolan mengenai banyak hal. Dari harga sayur di pasar, tetangga yang baru saja meninggal dunia, sampai masalah Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis tak luput dari santapan bibir kedua orang ini.

Sekilas kita bisa menimbang, bahwa kedua wanita ini memiliki profesi yang serupa tapi tak sama. Mbak Ratni adalah seorang profesional di bidang farmasi. Keahliannya meracik obat diperolehnya melalui gelar kesarjanaan dengan pendidikan formal dan sertifikasi yang memadai. Sedangkan Mbak Yanti demikian gayeng dengan profesinya meracik ramuan dari tanaman obat itu akibat keakrabannya dengan dunia jamu secara turun-temurun di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

 

Di dalam sejarah, obat yang pertama kali dibuat adalah obat yang berasal dari tanaman sebagaimana yang dilakukan oleh Mbak Yanti dan para peracik minuman tradisional (jamu). Obat-obat nabati ini digunakan sebagai rebusan atau ekstrak dengan aktivitas yang seringkali berbeda-beda tergantung dari asal tanaman dan cara pembuatannya.

Peran kedekatan manusia dengan alam sekitar, khususnya tumbuh-tumbuhan dan unsur-unsur alamiah ini dikemudian hari menghasilkan ahli-ahli botani yang juga ahli dalam menyembuhkan penyakit. Tercatat pada jaman dahulu di Yunani bahwa seorang Hippocrates (459-370 SM) harus benar-benar mengenal aneka tumbuhan dengan baik sebelum dikemudian hari disandangkan gelar “bapak kedokteran” oleh para ilmuwan. Praktek pengobatannya yang menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan ini jelas menuntut pemahaman, penemuan, dan uji-coba klinis yang mendalam sepanjang pengalaman hidupnya pada jaman itu.

Lantas sekarang bagaimana perkembangan farmasi yang dekat dengan ilmu biologi di negeri tempat Mbak Yanti dan Mbak Ratni berasal, tinggal, dan berkarya ini? Setidaknya kita bisa melihat peluang yang besar dengan pesatnya perkembangan obat herbal di Indonesia. Semakin besar jumlah industri jamu atau obat tradisional dan produk herbal lainnya, maka mutlak diperlukan obat herbal terstandar. Dengan kata lain, Indonesia membutuhkan penelitian-penelitian yang berkualitas dalam berbagai bidang terkait keberadaan jamu dan segala khasiatnya bagi manusia.

Saat ini dapat kita amati arah kebijakan pemerintah yang menjadikan jamu masuk dalam koridor keilmuan. Hal ini malah mempertegas perlunya segala upaya yang bersifat keilmuan. Bukankah obat herbal itu nantinya digunakan secara luas oleh masyarakat?

Mbak Yanti tiba-tiba berdiri, “Saya pulang dulu, ya Mbak…”, Seorang pengendara motor berhenti tepat di depan mereka.

“Ibu Yanti?”

“Benar!” Balasnya, “Saya duluan, ya Mbak. Ojek onlennya sudah dateng.”

Mbak Ratni tersenyum puas, “Iya, hati-hati, ya Mbak.” Kali ini senyumnya merona. Bukan lantaran karena memandang abang ojek yang menjemput Mbak Yanti, tapi karena efek laten dari racikan jamu langgannya itu. Ternyata jamu bukan saja bermanfaat untuk pengobatan, beberapa jenis jamu juga bermanfaat bagi kecantikan.