Apoteker UII Bicara Kasus Penarikan Albothyl

Penarikan Albothyl dari pasaran memunculkan keresahan konsumen, namun hal demikian adalah proses penguplan data ekektivitas dan keamaan obat secara riil.

Per 3 Januari silam, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan surat rekomendasi hasil rapat kajian keamanan pascapemaasaran kepada PT. Pharos Indonesia. Surat tersebut merekomendasikan kepada PT. Pharos untuk menarik satu di antara produknya dari pasaran yaitu Albothyl.  Albothyl baru diketahui dapat membahayakan konsumen lantaran policresulen dalam bentuk sediaan obat luar konsentrat 36%ternyata tak didukung bukti ilmiah dapat menyembuhkan sariawan. Selain itu, policresulen dalam bentuk sediaan obat luar konsentrat 36% membahayakan bila digunakan langsung tanpa pengenceran terlebih dahulu.

Albothyl selain sebagai obat sariawan selama ini juga dikenal sebagai antiseptik yang digunakan pada daerah vagina,l dan untuk proses pembedahan. Penarikan obat bebas terbatas ni mengagetkan masyarakat karena Albothyl sudah banyak digunakan dan dipercaya mampu menyembuhkan sariawan. Akan tetapi, BPOM selama dua tahun terakhir menerima laporan dari profesional kesehatan yang menangani pasien dengan iritasi dan chemical burn pada mucosa oral karena penggunaan Albothyl yang akibatnya sariawan justru semakin parah.

Konsumen yang diwakili oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyayangkan kejadian ini. BPOM dinilai lalai dalam melindungi hak konsumen untuk mendapatkan jaminan kemanaan akan obat yang konsumen gunakan. YLKI menyangsikan pemberian ixzin edar kepada obat-obatan yang kemudian hari dinyatakan berbahaya. Akan tetapi, berkaitan dengan hal ini, Fitrah Romadhonsyah, seorang apoteker di UNISIA Polifarma memaparkan bahwa, kasus temuan bahan berbahaya dalam Abothyl adalah hal yang bisa saja terjadi walaupun obat tersebut sudah diberikan izin edar.

Lelaki lulusan Prodi Farmasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Program Profesi Apoteker UII itu menjelaskan, dalam dunia kefarmasian obat dapat dipasarkan bila sudah melawati uji praklinis (efektivitas dan keamanaan pada hewan) dan uji klinis (efektivitas dan keamanaan pada manusia). Uji klinis memiliki empat tahapan, dan tahap yang terakhir adalah post marketing surveillance, yaitu pemantauan efektivitas dan keamaan suati obat ketika sudah dipasarkan pada masyarakat.

 “Sedangkan pada tahap keempat atau post marketing surveillance, uji klinis obat pada populasi manusia yang lebih besar, sehingga membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan fakta tentang efektivitas dan keamaan obat tersebut,”

Kasus Albothyl dengan policresulen konsentrat 36% adalah satu di antara contohnya. Proses post marketing surveillancememang membutuhkan waktu lama, bisa 5 hingga 10 tahun  bahkan lebih. Hal demikian karena pada tahan 1 hingga 3 pada uji klinis efektivitas dan keamanan obat terbatas pada beberapa orang. “Sedangkan pada tahap keempat atau post marketing surveillance,uji klinis obat pada populasi manusia yang lebih besar, sehingga membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan fakta tentang efektivitas dan keamaan obat tersebut,” papar Fitrah.

Memang seolah obat yang dipasarkan ternyata masih dalam tahap pengujian, namun, Fitrah berpesan bahwa tak perlu kawatir menyikapi adanya kasus obat yang ditarik dari pasaran. Hal yang dapat dilakukan konsumen adalah waspada terhadap obat-obatan yang dipasarkan. Jika menemui masalah keamanan suatu obat, konsumen dapat melaporkannya pada BPOM melalui aplikasi e-MESO (Monitoring Efek Samping Obat). “Rekan apoteker juga dapat berperan aktif dalam pelaporan masalah kemanan suatu obat melalui aplikasi e-MESO tersebut,” tutur Fitrah.

“Sikapi penarikan obat dari pasaran secara dewasa, jangan menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya yang akan merugikan banyak pihak,”

Konsumen pun tak perlu risau dnegan hilangnya policresulen konsentrat 36% dari pasaran, pemerintah sudah memberikan alternatif untuk pengobatan sariawan. Konsumen dapat menggunakan obat yang mengandung benzydamine HCL, povidone iodine 1%, atau kombinasi dequalium chloride dan vitamin C. “Sikapi penarikan obat dari pasaran secara dewasa, jangan menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya yang akan merugikan banyak pihak,” fitrah berpesan.